Pembesaran Lele
Lele merupakan ikan air tawar yang banyak terdapat di perairan umum seperti sungai, rawa, waduk, dan genangan air lainnya. Bentuk tubuh lele adalah gilig (silindris) memanjang, berkepala gepeng meruncing, dan di dekat mulutnya ditumbuhi dengan 4 pasang kumis yang kaku memanjang. Kulit tubuh lele licin, tidak bersisik, dan berwarna kehitaman. Lele termasuk ikan yang mudah dibudidayakan di mana saja, dapat hidup di ketinggian lebih dari 1.000 m dpl dengan kondisi suhu 20-32° C, pH 6,5-8, dan kandungan oksigen 3 ppm.
Terdapat tiga jenis lele yang biasa dibudidayakan, di antaranya lele lokal (Clarias botrocus), lele dumbo (Clariosgoriepinus),dan lele sangkuriang. Lele sangkuriang merupakan perbaikan strain dari lele dumbo, yakni hasil perkawinan silang batik dari lele dumbo yang berasal dari F2 (keturunan kedua) induk betina lele dumbo dengan F6 (keturunan keenam) induk jantan lele dumbo.
Lele dumbo merupakan jenis lele yang memiliki pertumbuhan cepat, dalam waktu 10-12 bulan beratnya bisa mencapai 200-300 g. Sedangkan pertumbuhan lele lokal agak lambat, misalnya dalam waktu yang sama panjang lele lokal baru mencapai 20 cm dengan berat 150-200 gram.
Budidaya pembesaran lele, mulai dari benih hingga ukuran konsumsi biasanya sudah tersegmen, yakni berdasarkan ukuran panjang tubuhnya, seperti 1-3 cm, 3-5 cm, 5-8 cm, 8-12 cm, hingga ukuran konsumsi yang dihitung dengan menggunakan ukuran berat seperti 6 ekor per kg, 8 ekor per kg, atau 10 ekor per kg.
1. Penebaran benih
Kepadatan penebaran benih yang sering dilakukan oleh pembudidaya lele di kolam terpal sekitar 100-300 ekor per m2 dengan ukuran benih 5-7 cm. Pembudidayaan tersebut dilakukan hingga panen atau setelah lele mencapai ukuran konsumsi, yakni berisi 8-12 ekor per kg dengan lama pemeliharaan sekitar 2,5-3 bulan.
Ketika benih lele masih agak kecil, perlu dilakukan seleksi benih lele berdasarkan grade/tingkatannya. seleksi tersebut idealnya dilakukan setiap 10-15 hari sekali. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan berikut.
a. Untuk menghindari terjadinya saling rebut makanan sehingga lele yang lebih kecil menjadi sulit untuk mendapatkan pakan.
b. Untuk menghindari kanibalisme antara lele yang lebih besar terhadap lele yang lebih kecil.
c. Menyeimbangkan pertumbuhan di antara lele karena lele bersifat rakus sehingga pakan yang tersisa dari porsi pakan lele yang berukuran lebih kecil akan dimakan lele yang lebih besar. Selain itu, sifat rakus ini juga bisa menyebabkan lele menderita bengkak perut.
d. Menghemat pelet yang diberikan dan mengurangi pengotoran kolam karena sisa pakan.
2. Pemberian pakan
Pakan yang diberikan pada benih lele, mulai dari tingkat larva (setelah mulai makan) hingga berumur minimal dua minggu memakan pakan alami berupa protozoa dan zooplankton (daphnia dan moina). Pembudidaya lele di kolam terpal terbiasa memberi pakan cacing sutra karena merupakan pakan alami yang mudah diperoleh dan bagus kandungan gizinya. Selanjutnya,
benih lele dapat diberi pakan buatan berupa pelet dengan ukuran yang kecil hingga akhirnya diberi pelet dengan ukuran yang disesuaikan dengan ukuran mulut lele. Ketika lele beranjak dewasa, pembudidaya biasa memberikan pakan berupa bangkai ayam yang telah dibakar atau direbus, cincangan bekicot/keong, sisa kotoran rumah tangga, atau pakan ramuan sendiri dalam bentuk pelet. Tujuannya adalah untuk menghemat biaya yang dikeluarkan untuk pakan.
3. Perawatan
Lele termasuk jenis ikan yang dapat bertahan hidup dalam air yang kondisinya kurang baik dengan kepadatan tinggi. Hal ini karena lele mempunyai alai bantu pernapasan berupa labirin yang dapat digunakan untuk mengambil oksigen langsung dari udara. Oleh karena itu, banyak pembudidaya lele yang menebar lele dengan kepadatan tinggi hingga air medianya berwarna kemerahan. Bahkan, ada beberapa pembudidaya yang menerapkan budi daya lele tanpa mengganti air sama sekali dan hanya menambah air apabila kondisi air media menurun.
Lain halnya bila kondisi lingkungan budi daya kurang menguntungkan, misalnya pada daerah yang suhu udaranya cukup dingin, sebaiknya ketinggian air media jangan terlalu tinggi- Perlakuan ini khususnya diaplikasikan ketika lele masih
kecil karena air media yang terlalu tinggi bisa membuat lele yang masih kecil kehilangan banyak energi untuk berenang, yakni ketika proses pengambilan oksigen di udara. Hal ini tentu bisa mempengaruhi kecepatan pertumbuhannya.
Pengontrolan air juga perlu dilakukan ketika musim hujan tiba, khususnya bila kolam terpal berada di luar. Air hujan yang masuk dapat membuat lingkungan air media menjadi asam dan cukup membahayakan lele. Namun, untuk mempertahankan kondisi kesehatan lele dapat ditebarkan garam krosok atau garam dapur.
sumber : Cahyo Saparinto, Penebar Swadaya, 2009
cetak halaman ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar