Rabu, 30 Maret 2011

Fadel: Impor Ikan Beku Direekspor

Fadel: Impor Ikan Beku Direekspor

BOGOR - Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menegaskan pihaknya akan mengekpor kembali atau reekspor ratusan ton ikan beku impor asal Tiongkok dan Thailand yang ada di lima lokasi pada 7 April 2011.

"Tanggal 7 April mudah-mudahan selesai, sehinggga bisa saya kirim kembali ikan itu. Saya sedang koordinasi dengan Direktotar Bea dan Cukai serta instansi lainya. Ke-13 importir itu juga sudah saya pegang alamat dan nama pemiliknya," kata Fadel di Istana Bogor, Selasa (29/3).

Menurut Fadel, saat ini pengurus dokumen untuk pengiriman kembali ikan beku impor itu sedang disusun. Ikan beku impor yang akan dikirim kembali ke negara asalnya itu terdiri dari 200 kontainer yang berada di lima lokasi, yaitu Pelabuhan Belawan Medan, Tanjung Priok Jakarta, Tanjung Perak Surabaya, Tanjung Mas Semarang, dan di Bandar Udara Soekarno-Hatta Tangerang, Banten.

HIngga kini 20 kontainer ikan beku impor itu masih ditahan karena tidak memiliki izin ikan impor dan mayoritas adalah ikan kembung, layang, teri, tongkol kecil, sampai ikan asin.

Menurut Fadel pihaknya sudah bertatap muka dikantornya dengan 13 importir yang membawa ikan itu masuk ke Indonesia. "Importir menyampaikan alasan yang bermacam-macam, seperti akan buat pakan, namun nyatanya di jual di pasar tradisional," tutur dia.

Faddel mengatakan, ikan yang dikirim itu sebenarnya banyak terdapat di Indonesia dan merupakan hasil tangkapan para utama nelayan di Indonesia.

Namun, kata dia, harga ikan impor itu 30% lebih murah karena ditangkap dengan kapal berkapasitas besar. "Saya sedih sekali nelayan kita jelas sulit bersaing dengan mereka," ucpanya.

Dia menjelaskan sejak perjanjian perdagangan bebas Asean-Tiongkok (CAFTA) diteken, impoter banyak memasukan barang impor yang sebenarnya sudah ada di Indonesia. Padahal kata dia Kementerian sudah membuat aturan mengenai jenis-jenis ikan yang boleh dan jenis ikan yang dilarang masuk Ke Indonesia melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 17/2010.

Namun, kata dia, sikapnya malah dituding sebagai langkah menyalahi aturan perdagangan bebas."Saya sekarang dapat banyak tantangan, dari beberapa orang yang menilai saya menyalahi aturan free trade. Saya menghargai perdagangan bebas tapi, saya mau perdagangan bebas yang terkendali, yang memebuat rakyat sejahtera," ujar Fadel.

Sementara itu Drjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan Viktor Nikijuluw sebelumnya mengatakan, dokumen impor ikan yang diterbitkan KKP jelas mengatur syarat-syarat impor.

Syarat impor itu antara lain, ikan yang boleh diimpor hanya jenis yang tidak ditemukan atau diproduksi di Indonesia. "Ikan Salmon misalnya, boleh diimpor karena tidak ada di Indonesia dan diperuntukan bagi ekspatriat." kata Viktor.

Menurut dia, selain pengaturan terkait jenis ikan, KKP juga mengatur syarat adanya Unit Pengelola Ikan (UPI) bagi setiap importir. Syarat itu menetapkan ketentuan, setiap importir boleh mengimpor bahan baku ikan demi kepentingan UPI. Artinya bahan baku itu diperuntukan bagi industri pengolahan untuk selanjutnya di ekspor. "Importir hanya boleh impor bahan baku untuk kemudian diolah lantas diekspor lagi," kata Viktor.

Dia menyayangkan, pelanggaran yang dilakukan importir bisa mematikan rantai produksi perikanan lokal. Sebab ikan impor yang masuk sebagian besar dari Tiongkok dan otomatis menekan harga ikan lokal. Harga ikan lokal yang murah berdampak negatif pada kemampuan produksi nelayan. Pasar ikan lokal yang tidak lagi mamapu menyerap hasil produksi nelayan lokal akan memukul rantai produksi dan konsumsi.

Data KKP menyebutkan, terdapat peningkatan nilai impor dibanding ekspor dalam dua tahun terakhir. Kenaikan impor lebih tinggi dibanding ekspor. Pada tahun 2009 nilai impor tercatat US$ 300 juta, naik menjadi US$ 390 juta tahun 2010. Nilai ekspor tahun 2009 tercatat US$ 2,5 miliar, naik menjadi US$ 2,89 miliar. "Meski secara nominal nilai ekspor lebih tinggi dari impor, tetapi persentasi peningkatan lebih tinggi impor dibanding ekspor. Ini harus dicegah dan KKP berkomitmen menggerakkan Industri dalam negeri," kata Viktor.

SUMBER : INVESTOR DAILY HAL 23, RABU 30 MARET 2011

Minggu, 27 Maret 2011

FITOPLANKTON ALTERNATIF Cocolite sp., PACU PRODUKSI BENIH KERAPU BEBEK

FITOPLANKTON ALTERNATIF Cocolite sp., PACU PRODUKSI BENIH KERAPU BEBEK PDF Print E-mail



Penggunaan Cocolite sp. Sebagai Fitoplankton Alternatif dalam Pemeliharaan Larva Kerapu Bebek Dapat Meningkatkan Produksi Benih Sehingga Mampu Turut Serta dalam Mendukung Peningkatan Target Produksi di Tahun 2015 dan Berusaha Memenuhi Permintaan Kerapu Bebek di Pasar Internasional.

C

hlorella sp. merupakan salah satu jenis fitoplankton yang digunakan dalam pemeliharaan larva kerapu bebek (Cromileptes altivelis) sebagai peneduh atau penyangga kualitas air. Secara umum diketahui bahwa produksi massal fitoplankton termasuk Chlorella sp. tergantung pada kondiisi alam termasuk sinar matahari (keadaan cuaca). Di BBL Ambon ketersediaan fitoplankton jenis Chlorella sp. pada musim penghujan tidak stabil sehingga kontinuitas penyediaan fitoplankton menjadi tidak menentu. Akibat dari ketidakstabilan fitoplankton tersebut berpengaruh terhadap pemeliharaan larva kerapu bebek (C. altivelis). Salah satu upaya mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggunakan fitoplankton alternatif. Cocolite sp. merupakan salah satu jenis fitoplankton yang dibiakkan di laboratorium pakan alami Balai Budidaya Laut Ambon. Secara visual Cocolite sp. berwarna hijau kebiruan, bentuk selnya bervariasi ( oval, elips, bulat telur dan silindris), mempunyai ukuran 2-8 µm, dapat digunakan sebagai pakan zooplankton (rotifer dan artemia) dan dalam kondisi musim hujan dapat tumbuh dengan baik.

Dalam upaya meningkatkan benih kerapu bebek ketika kondisi alam tidak mendukung untuk pertumbuhan jenis fitoplankton yang biasa digunakan, maka Cocolite sp. digunakan sebagai fitoplankton alternatif dalam pemeliharaan larva kerapu bebek (C. altivelis). Hal ini dikareakan di saat kondisi cuaca tidak stabil jenis fitoplankton ini dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

PEMELIHARAAN LARVA KERAPU BEBEK (C. altivelis)

Teknologi yang digunakan dalam pembenihan ikan kerapu bebek (C. altivelis) telah berkembang dengan baik. Namun dalam usaha perbenihan, banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan produksi benih, beberapa faktor penting diantaranya adalah kualitas telur, pakan hidup/alami, metode pemeliharaan larva dan penanganan penyakit. Teknologi yang diterapkan dalam pemeliharaan larva harus benar-benar diperhatikan agar memperoleh hasil yang maksimal. Adapun teknologi yang diterapkan adalah mengadopsi dari teknologi yang telah ada kemudian disesuaikan dengan kondisi yang ada di BBL Ambon.

Bak yang digunakan untuk kegiatan ini berkapasitas 6 m3 sebanyak 2 buah terletak dalam ruangan tertutup. Sebelum bak digunakan, terlebih dulu disterilkan dengan menggunakan kaporit dan dibilas dengan air tawar. Volume awal media pemelihaaran 4 m3 (untuk bak kapasitas 6 m3). Penambahan fitoplankton Cocolite sp. pada media pemeliharaan sebanyak 200 – 300 liter/ hari. Padat tebar telur 100.000 butir/bak. Larva pada stadia awal memerlukan intensitas cahaya 1000 lux dan fotoperiod lebih dari 10 jam untuk memburu pakan secara optimal. Aerasi biasanya menggunakan batu aerasi yang diletakan didasar bak larva. Pada larva berumur 0 - 2 HSM (hari setelah menetas) aerasi diberikan agak kuat untuk menghindari larva mengendap di dasar bak. Antara umur 3 -10 HSM kecepatan aerasi dikurangi sampai kecepatan sedang. Antara umur 11 – 25 HSM, kecepatan aerasi ditambah sedikit demi sedikit dan larva berumur lebih dari 25 HSM aerasi diperkuat. Tiga jenis pakan biasanya digunakan untuk membesarkan larva yaitu : rotifer, pakan buatan dan artemia.

Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan cara mempertahankan media pemeliharan sesuai standar yang telah ditetapkan, dengan cara pergantian air dengan double filter, pengaturan suhu dan kadar garam, penambahan plankton, pembersihan dasar bak, penyebaran minyak ikan pada permukan air, pembersihan permukaan air dan mempertahankan warna air dalam bak larva. Panen dilakukan pada larva berumur D-60, Juvenil hasil panen digrading berdasarkan ukurannya.

Tabel 1. Jadwal Pakan Harian Pemeliharaan Larva kerapu Bebek BBL Ambon

Umur

(Hari)

Jenis

Pakan

Frekuensi

(per hari)

Waktu (jam)

06

07

08

09

10

11

12

13

14

15

16

17

18

2 – 3

Co

1x



X











R

1x






x








4 – 7

Co

1x



X











R

2x





x






x



P

2x


x






X






8 – 18

Co

1x



X











R

2x





x







x


P

3x


x




x




X




19-30

Co

1x



X











R

2x





x







x


P

3x


x





x



X




NA

2x





x






x



31-40

P

4x


x


x



x



X




NA

3x





x




x



x


AS

3x





x




x



x


41-45

P

5x


x


x



x



x


x


AS

2x





x




x





AD

2x





x




x





46 – panen

P

6x


x

x




x

x



X

x


AD

3x





x




x




x

Ket: Co = Cocolite sp.

R = Rotifer

P = Pakan Buatan

NA = Naupli Artemia

AS = Artemia Sedang

AD = Artemia Dewasa

Tabel 2. Metode Pemeliharaan Larva Kerapu Bebek

Umur

(Hari)

Manajemen Pakan

Manajemen kualitas

Air

Jenis

Pakan

Dosis

Frekuensi

(per hari)

Pergantian Air

Siphon

D-0

s/d

D-1

Yolk egg

-

-

-

-

D-2

s/d

D-3

Cocolite

Rotifer

50-100 ribu sel/ml

3-5 ind/ml

1x

1x

-

-

D-4

s/d

D7

Cocolite

Rotifer

Pakan Buatan

50-100 ribu sel/ml

3-5 ind/ml

1,25 gr/pemberian

1x

2x

2x

-

-

D-8

s/d

D-17

Cocolite

Rotifer

Pakan Buatan

50-100 ribu sel/ml

5-7 ind/ml

1,25 - 2,5 gr/pemberian

1x

2x

3x

-

-

D-18

Cocolite

Rotifer

Pakan Buatan

50-100 ribu sel/ml

5-7 ind/ml

1,25 - 2,5 gr/pemberian

1x

2x

3x

10 %

-

D-19

s/d

D-30

Cocolite

Rotifer

Pakan Buatan

Naupli Artemia

50-100 ribu sel/ml

3-5 ind/ml

2,5-5 gr/pemberian

1-3 ind/ml

1x

1x

3x

5x

2x

20-50% (D19–D21)

50-75 % (D20– 25)

75-85% (D26-D28)

85-100% (D29-30)

>D30 sirkulasi

Siphon dasar

(D-30)

D-31

s/d

D-40

Pakan Buatan

Naupli Artemia

Artemia sedang

5-10 gr/pemberian

1-3 ind/ml

3-7 ind/ml

4x

3x

3x

Sirkulasi

Siphon

(jika dasar bak kotor)

D-41

s/d

D-45

Pakan Buatan

Artemia sedang

Artemia dewasa

5-10 gr/pemberian

3-7 ind/ml

secukupnya

5x

2x

2x

Sirkulasi

Siphon

(jika dasar bak kotor)

D-46

s/d

Panen

Pakan Buatan

Artemia dewasa

10-15 gr/pemberian

secukupnya

6x

3x

Sirkulasi

Siphon

(jika dasar bak kotor)

PENGGUNAAN Cocolite sp.

Berdasarkan laporan dari tim pakan alami (contact person) bahwa rotifer dapat bertumbuh dengan baik ketika diberi pakan fitoplankton Cocolite sp. hal ini membuktikan bahwa Cocolite sp. aman atau tidak mengandung racun bagi organisme yang memakannya, bahkan dapat memberikan pertumbuhan yang baik (bagi rotifer).Berdasarkan hasil analisa proximate, tepung Cocolite sp. mengandung 13,5%, Karbohidrat 6,56%, lemak 0,2%, Abu 66,69% dan air 12,75%. Dibandingkan dengan fitoplankton yang lazim digunakan untuk pemeliharaan larva, kandungan protein dan lemaknya lebih rendah. Walaupun demikian, penggunaan fitoplankton Cocolite sp. dalam kegiatan pembenihan kerapu bebek (untuk pakan rotifer dan pemeliharaan larva) dapat memberikan hasil yang cukup memuaskan dimana dari 100.000 butir telur/bak yang ditebar, rata-rata 80.000 butir/bak (HR=80 %) menetas menjadi larva dan dapat bertahan hidup sampai panen (umur 60 HSM) sebanyak 2000 ekor (SR=2,5%) dengan ukuran berkisar antara 1.5 cm - 3 cm dengan tingkat keseragaman 90% dan tingkat keabnormalan 5%.

Hasil pemeliharaan larva kerapu bebek dengan fitoplankton Cocolite sp. tersebut relatif sama bila menggunakan Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. dimana tingkat Kelulusan hidup larva (SR) 1,66% dan HR sebesar 85,1% (Suharno dkk, 2009). Hal ini diasumsikan karena nutrisi yang diperoleh larva bukan saja berasal dari Cocolite sp. tetapi juga diperoleh dari rotifer dan artemia yang telah diberi pengkayaan sebelum diberikan kepada larva serta pakan buatan sehingga kebutuhan nutrisi larva kerapu bebek untuk tumbuh dan berkembang dapat terpenuhi. Adapun kualitas air selama pemeliharaan yang terpantau adalah suhu 27.7°C – 30.8°C, DO 3.22- 4.00 ppm, salinitas 29.3 – 33.5, pH 7.70 – 8.61, nitrit 0.389 – 0.500 dan amonia 0.03 – 0.593 yang mana nilai-nilai tersebut masih berada pada kisaran aman untuk pemeliharaan larva kerapu bebek. (Narulitta Ely, Marwa, Ris Dewi, Khabibbulloh, Ramlan, @BBL Ambon)

sumber : http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id

Kamis, 24 Maret 2011

Jepang Lirik Potensi Ikan Sidat Indonesia

Jepang Lirik Potensi Ikan Sidat Indonesia

Jepang kini melirik potensi budidaya ikan sidat (Anguilla sp) di Indonesia. Kebutuhan pasar ikan sidat di jepang mencapai 40.000 ton per tahun atau senilai 1,7 miliar dolar AS. Jumlah konsumsi itu menurun akibat merosotnya suplai benih dan ikan sidat, Menurut Acting General Maneger Restaurant Express Co Ltd Shioji Takaoka di Jakarta, Rabu (23/3), sekitar 70 persen kebutuhan ikan sidat di Jepang dipasok dari China dan Taiwan. Kendalanya, sebagian sidat itu ditemukan mengandung reiu dan zat kimia berbahaya sehingga Jepang kini sangat berhati-hati dalam meng impor sidat dari China dan Taiwan. "Kami mencari mitra usaha di Indonesia untuk budidaya sidat yang siap di ekspor ke Jepang,"ujar Shioji.

SUMBER : KOMPAS 24 MARET 2011, HAL 18

Selasa, 22 Maret 2011

Bengkulu Laksanakan Validasi Data Statistik Perikanan Budidaya

Bengkulu Laksanakan Validasi Data Statistik Perikanan Budidaya

Tahun ini provinsi Bengkulu yang menghadap ke Samudera Hindia mengadakan acara Validasi Data Statistik Perikanan Budidaya Tingkat Provinsi Bengkulu lebih awal dari biasanya. Hal ini disebabkan majunya jadwal validasi data tingkat nasional yang akan dilaksanakan lebih awal. Mulai tahun ini dan seterusnya validasi data statistik tingkat nasional akan dilaksanakan terlebih dahulu dibandingkan pelaksanaan Forum Koordinasi Statistik Perikanan Budidaya. Validasi Data Statistik Perikanan Budidaya Tingkat Provinsi Bengkulu dilaksanakan pada minggu ketiga di bulan Maret 2011 ini.

Acara validasi data statistik perikanan budidaya ini dibuka oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu dan diikuti oleh seluruh petugas statistik perikanan budidaya kabupaten/kota se-provinsi Bengkulu, yaitu :

1. Kabupaten Bengkulu Selatan
2. Kota Bengkulu
3. Kabupaten Bengkulu Utara
4. Kabupaten Rejang Lebong
5. Kabupaten Seluma
6. Kabupaten Muko-muko
7. Kabupaten Kaur
8. Kabupaten Kepahiang
9. Kabupaten Lebong
10. Kabupaten Bengkulu Tengah

Setiap kabupaten/kota yang hadir di pelaksanaan validasi ini diwakili oleh dua orang. Panitia pelaksana mengundang para petugas kabupaten/kota se-provinsi Bengkulu ini sebanyak dua orang bukan tanpa alasan. Dengan mengundang dua orang petugas statistik diharapkan nantinya keberlanjutan pengumpulan dan pengolahan data statistik perikanan budidaya di tingkat kabupaten ketika terjadi mutasi petugas statistik, ada yang dapat menggantikan dan langsung paham dengan tata cara pelaksanaan pengumpulan dan pengolahan data statistik perikanan budidaya. Kendala pelaksananaan pengumpulan dan pengolahan data statistik perikanan budidaya salah satunya adalah petugas statistik di tingkat kabupaten/kota yang selalu berganti sehingga menyebabkan adanya kendala dalam pengumpulan dan pengolahan data akibat tidak pahamnya petugas statistik yang baru terhadap tata cara pelaksanaan pengumpulan dan pengolahan data statistik perikanan budidaya.

Hadir dalam acara tersebut Kepala Subdirektorat Data dan Statistik Perikanan budidaya yang menjadi narasumber dari Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dengan menyampaikan materi tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan validasi data statistik perikanan budidaya tingkat provinsi. Dalam kesempatan tersebut kasubdit data dan statistik menekankan perlunya pemahaman terhadap metodologi pengumpulan dan pengolahan data statistik perikanan budidaya karena metodologi pengumpulan dan pengolahan data statistik perikanan budidaya adalah dasar untuk mendapatkan data yang akurat dan sesuai dengan keadaan di lapangan.

Pada kesempatan tersebut, kasubdit data dan statistik perikanan budidaya juga menyampaikan beberapa poin yang sering menjadi kesalahan petugas statistik dalam melakukan pengumpulan, pengolahan dan penyajian data. Selain itu, juga disampaikan bahwa pendataan data statistik dalam satuan basah bukan dalam bentuk kering ataupun sudah diolah.

Setelah mendengarkan teknik dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan Validasi Data Statistik Perikanan Budidaya dilanjutkan dengan validasi data statistik perikanan budidaya yang sebelumnya sudah dikirimkan oleh para petugas statistik perikanan budidaya tingkat kabupaten/kota.

Dalam pelaksanaan validasi data statistik perikanan budidaya tersebut didapati bahwa di Provinsi Bengkulu telah berkembang teknik budidaya denga metode karamba jaring tancap seperti yang berkembang di Provinsi Kalimantan Barat. Jenis ikan yang berkembang di provinsi ini didominasi oleh ikan mas dan ikan nila. Beberapa kabupaten/kota cukup baik dalam budidaya ikan lele, gurame dan patin. Begitu pula untuk komoditas ikan air payau seperti udang dan bandeng yang hanya terdapat di beberapa kabupaten/kota.
sumber : http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id

Senin, 21 Maret 2011

KKP, Salurkan Paket Bantuan Langsung ke Masyarakat melalui Pengembangan Usaha Mina Pedesaan.(PUMP)

KKP, Salurkan Paket Bantuan Langsung ke Masyarakat melalui Pengembangan Usaha Mina Pedesaan.(PUMP)

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 396,4 miliar untuk program kewirausahaan. Anggaran tersebut akan disalurkan berupa komponen paket bantuan langsung ke masyarakat melalui pengembangan usaha mina pedesaan (PUMP) dan pengembangan usaha garam rakyat (PUGR) untuk mendukung strategi pemerintah dalam percepatan pengentasan kemiskinan (pro-poor). Alokasi dana PUMP untuk bidang perikanan budidaya (PUMP-PB) sebesar Rp 200 miliar untuk sekitar 2.000 kelompok pembudidaya ikan di 300 kabupaten/kota.

Adapun kriteria umum calon penerima PUMP-PB adalah kelompok usaha skala mikro dengan pengurus dan anggotanya bukan merupakan aparat Dinas atau PNS, berdomisili di desa/kelurahan setempat, berada di dalam satu desa/kelurahan yang sama; serta tercatat dan di bawah binaan Dinas Kabupaten/Kota.

PUMP-PB merupakan salah satu program besar (grand strategy) KKP periode 2010-1014 sebagai kegiatan pemberdayaan masyarakat kelautan dan perikanan dalam rangka penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja. Namun demikian, program PUMP-PB ini baru bisa berlangsung pada 2011 di mana persyaratan dan prosedurnya akan ditetapkan dalam bentuk Pedoman Teknis PUMP Perikanan Budidaya.......selanjutnya

sumber : http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id

Minggu, 20 Maret 2011

Disease Mycobacteriosis / Fish Tuberculosis (TB)

Disease Mycobacteriosis / Fish Tuberculosis (TB)

Cause: Mycobacterium marinum (sea water) and M. fortuitum (fresh water)

Bio - Ecology pathogen
• bacteria are gram positive, short rod-shaped and non-motile.
• rain-fed pool and garden with limited water resources are more susceptible to infection type of the disease.
• Shows symptoms varied, but often show no clinical symptoms at all.
• The pattern of attacks are chronic mycobacteriosis - sub acute, both in freshwater fish, brackish and sea water fish.
• The optimum temperature ranges from 25-35 ° C, but still can grow well at 18-20 ° C.

Clinical Symptoms:
• Loss of appetite, weak, thin, bulging eyes (exopthalmia) and swelling of the body.
• If the infected skin, red patches occur and develop into sores, fin and tail damage.
• In the advanced phase of infection, internally there has been swelling bile, kidneys and liver, and is often found in the tubercle / brownish white nodule.

• slow growth, pale color and not beautiful, especially for ornamental fish.
• Lordosis, scoliosis, ulcer and fin damage (fractures) can occur in some fish that was attacked.

Diagnosis:
• Isolation using selective media, and
identified through bio-chemical tests.
• Detection of bacterial genes by polymerase chain reaction (PCR)


Control:
• infected fish were taken and destroyed immediately
• Avoid using water from ponds that are infected with the bacteria.
• Improve overall water quality, particularly reducing the levels of dissolved organic material and / or - to increase the frequency of replacement of new water
• Management of fish health in an integrated (fish, environment and pathogens)
• Soaking chloramine B or T 10 ppm for 24 hours and after that turn of the new water.

source: Ministry of Maritime Affairs and Fisheries of Indonesia, Directorate General of Aquaculture, Fish and Environmental Health Directorate, 2010

Sabtu, 19 Maret 2011

Penyakit Mycobacteriosis/Fish Tuberculosis (TB)

Penyakit Mycobacteriosis/Fish Tuberculosis (TB)

Penyebab : Mycobacterium marinum (air laut) dan M. fortuitum (air tawar)

Bio — Ekologi Pathogen
• Bakteri gram positif, berbentuk batang pendek dan non-motil.
• Kolam tadah hujan dan pekarangan dengan sumber air terbatas lebih rentan terhadap infeksi jenis penyakit ini.
• Menunjukkan gejala yang variatif, namun sering pula tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali.
• Pola serangan mycobacteriosis bersifat kronik - sub akut, baik pada ikan air tawar, payau maupun ikan air laut.
• Suhu optimum berkisar 25-35°C, tetapi masih dapat tumbuh baik pada suhu 18-20 °C.

Gejala Klinis :
• Hilang nasfu makan, lemah, kurus, mata melotot (exopthalmia) serta pembengkakan tubuh.
• Apabila menginfeksi kulit, timbul bercak-bercak merah dan berkembang menjadi luka, sirip dan ekor geripis.
• Pada fase infeksi lanjut, secara internal telah terjadi pembengkakan empedu, ginjal dan hati; serta sering ditemukan adanya tubercle/nodule yang berwarna putih kecoklatan.

• Pertumbuhan lambat, warna pucat dan tidak indah terutama untuk ikan hias.
• Lordosis, skoliosis, ulser dan rusaknya sirip (patah-patah) dapat terjadi pada beberapa ekor ikan yang terserang.

Diagnosa :
• Isolasi dengan menggunakan media selektif, dan
diidentifikasi melalui uji bio-kimia.
• Deteksi gen bakteri melalui teknik polymerase chain reaction (PCR)


Pengendalian :
• ikan yang terinfeksi segera diambil dan dimusnahkan
• Hindari penggunaan air dari kolam yang sedang terinfeksi bakteri tersebut.
• Memperbaiki kualitas air secara keseluruhan, terutama mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau - meningkatkan frekuensi penggantian air baru
• Pengelolaan kesehatan ikan secara terpadu (ikan, lingkungan dan patogen)
• Perendaman Chloramine B atau T 10 ppm selama 24 jam dan setelah itu dilakukan pergantian air baru.

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan ikan dan Lingkungan, 2010

Luas Konservasi Laut 20 Juta Ha

Luas Konservasi Laut 20 Juta Ha


KEMENTERIAN Kelautan dan Perikanan (KKP) mendorong peningkatan hasil produksi budidaya laut. Salah satunya ialah dengan menargetkan area konservasi perairan seluas 15,5 juta hektare (ha) pada tahun 2014. Luas area pemeliharaan dan perlindungan di perairan laut ini naik 11,5% dibanding dengan luas konservasi tahun lalu yang mencapai 13,9 juta ha. KKP menargetkan area konservasi perairan tahun 2020 bisa mencapai 20 juta ha.

Gelwynn Jusuf, Sekretaris Jenderal KKP menjelaskan, area konservasi ini akan dikelola oleh pemerintah pusat dan daerah. "Anggaran pemerintah sangat terbatas, di lain pihak untuk mengelola keragaman hayati yang luas memerlukan dana besar,"ujar Gelwynn,Kamis (17/3).

Pemerintah akan mengerahkan sumber daya lain demi mendukung pengelolahan kawasan konservasi. Misalnya dengan mengerahkan biaya perijinan pengelolaan, pajak, biaya denda akibat pelanggaran, denda polusi, hibah dari dalam dan luar negeri, program tanggung jawab sosial perusahaan, atau dana pengelolaan lingkungan oleh lembaga swadaya masyarakat nirbala.

Saat ini, pembiayaan pengelolaan kawasan konservasi perairan bersumber dari anggaran pemerintah. "Sumber lain seperti bantuan luar negeri, LSM, dan hibah," lanjut Gelwynn. Meskipun demikian, menurutnya dana ini belum mencukupi kebutuhan. Sebab, untuk mengelola area di bawah 20.000 ha, dibutuhkan dana sebesar sekitar US$ 110 per ha.


SUMBER : HARIAN KONTAN HAL 15

Jumat, 18 Maret 2011

Belut Putih Gegerkan Warga Cigantang Kota Tasikmalaya

Tasikmalaya adaditasik.com ( 18/03) Warga di Kampung Gunung Sari RT 03/05 Kelurahan Cigantang Kecamatan Mangkubumi Kota Tasikmalaya, digegerkan dengan diketemukannya, seekor belut berwarna putih dengan panjang kurang lebih 60 cm.

Belut putih ini pertama kali diketemukan oleh Rahidin ( 55 ) saat tengah membersihkan kolam miliknya, pada hari Kamis ( 17/03 ) sekira pukul 11.00 wib. saat air sudah muali surut tiba tiba Rahidin melihat seekor belut yang lain daripada yang lain, sejenak Rahidin berfikir bahwa itu hanya sebuah lele dumbo biasa, namun saat didekati Rahidin meyakini bahwa hewan tanpa kaki ini adalah seekor belut dengan warna albino.

" Saya fikir belut biasa, atau lele dumbo , namun saat didekati ternyata memang seekor belut namun warnanya putih, itu yang bikin saya jadi heran, biasanya warna belut kan coklat atau hitam, panjangnyapun sekitar 20 cm, tapi yang inimah [anjang sekali " katanya.

Berita diketemukannya belut yang dalam bahasa latinya (monopterus albus) dengan kulit berwarna putih inipun, dengan cepat tersebar puluhan warga berbondong bondong ingin melihat belut aneh ini dari dekat.

" Saya penasaran katanya belutnya ada telingannya serta memilki bibir, dan warnanya putih lagi " Ujar Hani yang datang dari Kawalu Kota Tasikmalaya.

Sementara itu menurut Tokoh Ulama setempat, penemuan belut aneh tersebut jangan disangkut pautkan dengan hal yang berbau mistis, karena bisa menjadikan musrik.

" Yah itulah tanda kebesaran Allah swt, jadi masyarakat jangan disangkutkan dengan hal hal yang sirik, seperti belut jadi jadian atau yang laiinya, itu bisa menimbulkan dosa besar " Ujar Ustadz H. Acep Saeful Zoni.

Sebetulnya belut adalah sejenis ikan yang punya nama latin monopterus albus. Belut biasa hidup dan berkembangbiak di habitatnya seperti persawahan, rawa-rawa atau tempat-tempat yang berlumpur seperti pinggiran sungai atau parit. Banyak orang memburu belut karena katanya mengandung gizi yang tinggi, belut juga memiliki varian warna yang berbeda tergantung suhu dan lokasi temapt berkembang biak, jadi yang jelas belut putih yang ditemukan oleh Rahidin adalah belut biasa namun memilki pigmen warna yang berbeda, bukan belut jadian jadian tentunya. ( DZM )

sumber :http://www.adaditasik.com

Kamis, 17 Maret 2011

Streptococciasis Disease

Streptococciasis Disease
Cause: Streptococcus agalactiae, S. iniae,

Bio - Ecology of pathogens:
• gram-positive bacteria, small round (cocci), joined
chain-like, non-motile, transparent and smooth colonies.
• Streptococcus iniae Infection often occurs in sea water fish farming (snapper, grouper), whereas S. agalactiae is more commonly found in freshwater fish farming (tilapia).

• The pattern of attacks are generally two types of bacteria are chronic - acute.
• Target organs of infection of Streptococcus spp. commonly found in the brain and eyes. so-called "syndrome, meningoencephalitis and panophthalmitis". The disease is frequently reported in intensive aquaculture systems, aquatic environment calm (stagnant) and / or recirculation systems,

• Cumulatively, the attack of this disease can cause mortality of 30-100% of the total population during the maintenance period: and this disease is a potential obstacle that must be anticipated with respect to intensification and improvement of national tilapia production.

Clinical Symptoms:
• Indicates abnormal behavior such as convulsions or spinning and prominent eyes (exopthalmus).
• decreased appetite, weakness, dark-colored body, and slow growth.
• Dark colors under the jaw, prominent eyes, bleeding, abdominal bloat (dropsy) or injuries that develop into ulcers.
• Occasionally. do not show obvious clinical symptoms except death continues.
• no directional movement (nervous) and bleeding on the gill cover (operculum).
• Often, too, found that the infected fish appear normal until shortly before death.

Diagnosis
• Isolation and identification of bacteria through bio-chemical tests.
• Detection of bacterial genes by polymerase chain reaction (PCR)


Control:
• Disinfection of aquaculture facilities before and during the maintenance of fish
• Prevention of early (seed) through vaccination anti-Streptococcus spp.
• Giving immunostimulan element (eg addition of
vitamin C in feed) are routinely during maintenance
• Improve overall water quality, particularly reducing the levels of dissolved organic material and / or increase the frequency of replacement of new water
• Management of fish health in an integrated (fish, environment and pathogens)

source: Ministry of Maritime Affairs and Fisheries of Indonesia, Directorate General of Aquaculture, Fish and Environmental Health Directorate, 2010

Rabu, 16 Maret 2011

Penyakit ikan : Penyakit Streptococciasis

Penyakit Streptococciasis
Penyebab : Streptococcus agalactiae, S. iniae,

Bio — Ekologi Pathogen :
• Bakteri gram positif, berbentuk bulat kecil (cocci), bergabung
menyerupai rantai, non-motil, koloni transparan dan halus.
• Infeksi Streptococcus iniae sering terjadi pada budidaya ikan air laut (kakap, kerapu), sedangkan S. agalactiae lebih banyak ditemukan pada ikan budidaya air tawar (nila).

• Pola serangan kedua jenis bakteri tersebut umumnya bersifat kronik – akut.
• Target organ infeksi Streptococcus spp. banyak ditemukan di otak dan mata. sehingga disebut "syndrome meningoencephalitis dan panophthalmitis". Penyakit ini sering dilaporkan pada sistem budidaya intensif, lingkungan perairan tenang (stagnant) dan/atau sistem resirkulasi,

• Secara kumulatif, akibat serangan penyakit ini dapat menimbulkan mortalitas 30-100% dari total populasi selama masa pemeliharaan: dan penyakit ini merupakan kendala potensial yang harus diantisipasi berkenaan dengan program intensifikasi dan peningkatan produksi nila nasional.

Gejala Klinis :
• Menunjukkan tingkah laku abnormal seperti kejang atau berputar serta mata menonjol (exopthalmus).
• Nafsu makan menurun, lemah, tubuh berwarna gelap, dan pertumbuhan lambat.
• Warna gelap di bawah rahang, mata menonjol, pendarahan, perut gembung (dropsy) atau luka yang berkembang menjadi borok.
• Adakalanya. tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas kecuali kematian yang terus berlangsung.
• Pergerakan tidak terarah (nervous) dan pendarahan pada tutup insang (operculum).
• Sering pula ditemukan bahwa ikan yang terinfeksi terlihat normal sampai sesaat sebelum mati.

Diagnosa
• Isolasi dan identifikasi bakteri melalui uji bio-kimia.
• Deteksi gen bakteri melalui teknik polymerase chain reaction (PCR)


Pengendalian:
• Desinfeksi sarana budidaya sebelum dan selama proses pemeliharaan ikan
• Pencegahan secara dini (benih) melalui vaksinasi anti-Streptococcus spp.
• Pemberian unsur immunostimulan (misalnya penambahan
vitamin C pada pakan) secara rutin selama pemeliharaan
• Memperbaiki kualitas air secara keseluruhan, terutama mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekuensi penggantian air baru
• Pengelolaan kesehatan ikan secara terpadu (ikan, lingkungan dan patogen)

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan ikan dan Lingkungan, 2010

Jumat, 11 Maret 2011

“Raja Lele” dari Ujung Timur Pulau Jawa

“Raja Lele” dari Ujung Timur Pulau Jawa


lele_1Siapa raja lele yang sebenarnya? “Raja Lele”, bukan hanya berasal dari nama kelompok budidayanya saja, akan tetapi melihat kesuksesan yang dicapai dalam meningkatkan produksi ikan lele hingga ambang batas normal. Padat tebar yang tinggi hingga mencapai angka 1.000 – 1.500 ekor/m2 merupakan kunci utamanya.



Berada pada lokasi yang terletak pada 08025’57,5” LS - 114019’41,1” BT, di ujung timur Pulau Jawa, tepatnya di Desa tembok Rejo, Kec. Muncar, Banyuwangi – Jawa Timur terdapat kelompok pembudidaya lele Super Intensif bernama “Raja Lele” dengan jenis lele yang dibudidayakan adalah lele dumbo. Selain usaha pembesaran lele untuk ikan konsumsi, Raja Lele juga bergerak dalam usaha perbenihan lele. Usaha perbenihan dilakukan untuk membantu pasokan benih untuk kegiatan pembesaran apabila mengalami kesulitan pasokan benih.

Digawangi oleh Syamsul Arifin, dialah ketua kelompok dari Raja Lele yang berhasil membudidayakan lele dengan padat tebar tinggi. Berawal dari pemikirannya yang sederhana untuk mengubah image negatif dari lele, dimana lele itu diproduksi. Bukan menjadi suatu rahasia apabila pemeliharaan lele di lokasi pemukiman yang padat penduduk banyak penolakan dari warga sekitar. Hal ini dikarenakan bau menyengat dari kolam tempat pemeliharaan. Sehingga pembudidaya lebih memilih untuk memelihara di pekarangan / kebun yang sedikit jauh dari tempat tinggal. Belum lagi dalam hal pakan yang digunakan. Sehingga oleh Syamsul diterapkan teknik budidaya, yakni budidaya ramah lingkungan dengan melakukan manajemen budidaya baik manajemen kualitas air maupun pemberian pakan.

Luas pemeliharaan Raja Lele saat ini terdiri dari kolam kecil dengan luasan total 160 m2 dan kolam besar berjumlah 600 m2. Dari luasan tersebut dapat memproduksi lele sebesar ± 150 ton/bulan. Kolam yang digunakan sebagai wadah budidaya sebagian besar berupa kolam beton, meski ada juga dari anggota kelompok yang menggunakan kolam dari terpal.

Lele dibudidayakan selama 2,5 bulan. Kebutuhan akan benih untuk Raja Lele selain dari pasokan pembenih lokal juga dari luar daerah, seperti Jember. Untuk kebutuhan pakan, Raja Lele menggunakan pakan buatan atau pelet hasil produksi pabrikan. Dalam pemeliharaannya, tidak ada perbedaan secara teknis budidaya dengan pembudidaya lele pada umumnya. Hanya melakukan sejumlah manajemen budidaya. Manajemen tersebut meliputi manajemen pakan, dan air.

Dalam hal pakan, pemberian pakan dilakukan dengan mengacu pada waktu dan feeding habit alami dari lele. Seperti yang diketahui, lele adalah jenis ikan yang aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal). Berawal dari hal tersebut, Raja Lele mengaturnya dengan memberi pakan dengan konsentrasi yang lebih banyak pada malam hari. Perbandingan pakannya, yaitu 70% malam dan 30% siang. Selain pakan, pergantian air merupakan bagian terpenting. Disamping untuk menjaga kesehatan ikan, juga dapat menghindari adanya penyakit. Meskipun lele termasuk ikan yang memiliki daya tahan kuat terhadap kondisi perairan yang jelek sekalipun, akan tetapi perkembangannya tidak dapat optimal. Hal lain yang dilakukan dalam budidaya super intensif ini adalah adanya pemilahan ukuran (grading) yang dilakukan setiap 3 – 4 hari sekali, serta penambahan probiotik pada pakan dan media pemeliharaan.

Selama ini permintaan akan lele di pasaran cenderung meningkat. Hasil produksi Raja Lele selain untuk konsumsi pasar lokal juga ke luar daerah. Daerah yang menjadi tujuan sekaligus pasar terbesar Raja Lele adalah Bali. Dari hasil panen 150 ton/bulan terbagi untuk pemasaran lokal dan luar daerah (Bali) dengan perbandingan 60 ton (lokal) dan 90 ton (Bali). Belum lama ini, Raja Lele telah memasarkan hasilnya ke Bandung. Tentunya bukan hal yang mudah jika ingin mengekspor hasil usaha budidaya hingga ke luar daerah. Ada beberapa hal yang menjadi tantangan, antara lain :

1. Kualitas barang (produk) yang bersaing

2. Harga yang bersaing

3. Jaminan keamanan akan produk dari pihak/instansi yang berwenang.

Syamsul menambahkan, keberanian Raja Lele memasarkan ikannya ke Bandung adalah dengan diperolehnya sertifikat CBIB dari KKP. Adanya sertifikat CBIB dapat memberikan jaminan keamanan pangan mulai bahan baku hingga produk akhir hasil budidaya yang bebas dari bahan cemaran sesuai persyaratan pasar. Sehingga dapat meningkatkan kepercayaan produsen kepada konsumen, yang nantinya akan memiliki daya saing terhadap produk yang dihasilkan. Yang penting untuk diperhatikan dalam memperoleh sertifikat ini, seluruh tahapan dalam budidaya ikan seperti sanitasi dan pengendalian yang bertujuan dalam upaya mencegah tercemarnya hasil perikanan budidaya dari berbagai bahaya keamanan pangan seperti bakteri, racun hayati (biotoxin), logam berat serta pestisida, maupun residu bahan terlarang (antibiotik, hormon, dsb).

Adapun kendala yang dialami Raja Lele saat ini adalah berkaitan dengan sarana transportasi. Selama ini produksi yang dihasilkan tidak bersamaan. Sehingga hasil panen diperoleh dari beberapa anggota kelompok untuk kemudian dikumpulkan dan dijadikan satu, dan selanjutnya didistribusikan ke daerah tujuan. Sarana pendistribusian biasanya berupa truk (untuk muatan besar) dan pick-up (untuk muatan kurang dari 5 ton). Dalam satu bulan, pengangkutan hasil panen dapat dilakukan hingga beberapa kali. Hal ini akan menambah biaya produksi karena belum adanya sarana pengangkutan.

Dengan tingkat padat tebar yang tinggi disertai manajemen budidaya yang baik serta adanya sertifikat CBIB, Raja Lele akan memiliki daya saing tinggi baik di daerah maupun secara nasional.

sumber : http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id

Rabu, 09 Maret 2011

Pembenihan Ikan Mas Koki (Carrasius auratus)

Pembenihan Ikan Mas Koki (Carrasius auratus)


Dari berbagai jenis ikan hias yang beredar di Indonesia, ikan mas koki merupakan jenis ikan hias yang dominan. Hal tersebut terkait dengan kelebihannya yaitu harganya yang relatif murah, bentuk siripnya yang indah, kepalanya yang menyerupai kepala singa serta tubuhnya yang dilapisi aneka warna dengan gerakannya yang semampai telah memikat hati para penggemarnya. Ikan mas koki berasal dari China, namun saat ini telah tersebar luas di Indonesia

Jenis Kelamin

Ikan mas koki yang telah matang gonad memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

Ikan Betina

- Pada bagian perut agak membesar

- Bentuk dubur besar dan bulat

Ikan Jantan

- Terdapat benjolan kecil warna putih pada tutup insang atau terkadang pada jari-jari pertama sirip dada

- Bentuk dubur oval dan kecil
Kolam Induk

- Induk jantan dan betina yang telah berumur 2 – 4 tahun, ditempatkan secara terpisah dalam bak yang cukup mendapat sinar matahari

- Ukuran bak 2 x 2 x 0,6 m3 yang dilengkapi saluran pengeluaran air

- Air berasal dari air tanah yang telah diendapkan atau ledeng yang kaporitnya telah dinetralisasi

- Untuk menghilangkan kadar kaporit pada air ledeng tambahkan 1 sendok makan sodium thiosulfat per 200 liter air

- Pakan yang diberikan berupa cacing rambut atau pakan buatan dengan kadar protein minimal 15%.

Pemijahan

- Bak Pemijahan dijemur terlebih dahulu sampai dasarnya kering

- Masukkan air setinggi 25 cm, kemudian untuk mengendalikan suhu air digunakan aerator dan thermostat

- Masukkan kakaban atau tanaman air yang mengapung sebanyak 1/3 luas permukaan sebagai tempat menempelnya telur

- Suhu media pemijahan 23-270C, pH 7,2 – 7,5, Oksigen terlarut 5 ppm, kesadahan air 50 – 200 dH ( 1 dH= 7,1 ppm)

- Induk mas koki dimasukkan ke dalam bak pemijahan dengan

perbandingan betina : jantan = 1:3. Pemijahan berlangsung pada malam hari menjelang subuh

- Keesokan harinya, telur-telur hasil pemijahan menempel di kakaban

- Hindarkan telur-telur dari curahan air hujan atau sengatan sinar matahari

- Telur dibiarkan di kakaban sampai menetas, induk dipindahkan kembali ke kolam pemeliharaa induk.

- Untuk menjaga kualitas air pemeliharaan larva, dilakukan penggantian sebagian air dengan cara menyiphon dan meningkatkan aerasi.

- Untuk menghindari tumbuhnya jamur, teteskan malachit green 1 ppm (1 mg untuk 1000 liter air) pada media pemeliharaan. Setelah 15 menit air dibuang dan diganti dengan air yang baru.

- Telur akan menetas dalam waktu 2 hari pada suhu 27 0C menjadi larva ukuran 5 mm

- Setelah larva berumur 2 – 3 hari diberikan pakan berupa jasad renik (moina, daphnia, infusoria dan rotifera), cacing rambut atau makanan buatan

- Seleksi terhadap larva ikan sebaiknya dilakukan secara rutin setelah larva berumur 2 minggu, 3 minggu dan 2-3 bulan

Pemeliharaan di akuarium

Ukuran akuarium yang biasa digunakan untuk memelihara ikan mas koki yaitu 90 x 30 x 38 cm. Suhu air pemeliharaan yang sesuai adalah 18 – 21 0C, pH < 8. Pakan yang diberikan berupa pakan alami atau pakan buatan sebanyak satu kali/ hari. Proses penggantian air dilakukan seminggu sekali sebanyak ¼ - 1/3 bagian dengan cara menyipon, sedangkan untuk membersihkan kotoran yang melayang dalam air digunakan filter.

sumber : http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id

Senin, 07 Maret 2011

Akses Perikanan Dikembangkan

Akses Perikanan Dikembangkan

JAKARTA - Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) berharap akses pasar ekspor produk perikanan bisa diperluas dengan cara mengandeng perusahaan modern yang memiliki jaringan internasional.

"Nelayan dan pembudidaya yang memiliki usaha skala kecil dan menenggah bisa memanfaatkan akses di pasar modern. KKP mengupayakan dengan menyiapkan sertifikat keamanan pangan, agar produk bisa masuk dan diterima pasar," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad seusai membuka Kampoeng Carrefour bertema farmers and fisherman di Jakarta, Minggu (6/3).

Fadel menyatakan, di dalam negeri usaha kecil dan menengah terkendala akses pasar, untuk itu langkah pasar modern seperti hypermart/supermarket yang menyediakan lokasi dan tempat berjualan mempermudah akses nelayan dan pembudidaya. Untuk itu ia berharap kerja sama dengan pasar modern dapat di tingkatan.

Dengan kerja sama dengan pasar modern (Carrefour) Indonesia, Fadel berharap akses pasar produk perikanan dapat diperluas. "Mereka memiliki jaringan pasar internasional, dan ini akan mempermudah produk kita masuk kepasar modern di luar negeri," imbuhnya.

Lebih lanjut Fadel menuturkan, pemerintah membina mitra nelayan dan pembudidaya sehingga memiliki kemampuan produksi produk yang memenuhi syarat pasar. Diharapkan, mereka menjadi lokomotif bagi usaha perikanan lain skala kecil dan menengah untuk menembus pasar modern.

Pasar Modern

Di tempat yang sama Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian Hasanuddin Ibrahim menyebut selama ini jaringan petani lebih banyak di pasar modern akan memperluas akses pasar.

"Memang masih ada kendala, usaha pertanian skala kecil dan menengah biasanya terkendala modal. Di pasar modern terkadang sistem pembayarannya belakangan dan pernah molor, jadi bagi usaha kecil pertanian itu akan berat karena modal sulit diputar," ungkapnya.

Presdir PT Carrefour Indonesia Shafie Shamsuddin menyebut, produk pertanian dan perikanan dari petani dan nelayan diserap oleh 81 gerai Carrefour di Indonesia. Data PT Carrefour Indonesia menyebut, ada 37 mitra yang memasok produk pertanian dan delapan mitra dari sektor kelautan dan perikanan.

"Jika kualitasnya sudah terjamin di pasar dalam negeri, maka kita akan berikan ekspornya ke pasar terdekat mulai Malaysia, Singapura dan Taiwan. Kita berikan guidance quality line sehingga proses dan produknya terjamin," ujarnya.



Sumber : KORAN JAKARTA 7 MARET 2011 HAL 15

Rabu, 02 Maret 2011

penyakit ikan Columnaris Disease


Columnaris Disease

Penyebab : Flavobacterium columnare atau Fexibacterium columnare

Bio-Ekologi patogen:
• Bakteri gram negatif, berbentuk batang kecil, bergerak meluncur, dan terdapat di ekosistem air tawar.
• Sifat bakteri ini adalah berkelompok membentuk kumpulan seperti column.
• Serangan sering terjadi pada kelompok ikan pasca transportasi.
• Sifat serangan umumnya sub acut — acut, apabila insang yang dominan sebagai target organ, ikan akan mati lemas dan kematian yang ditimbulkannya bisa mencapai 100%.

Gejala klinis :
• Luka di sekitar mulut, kepala, badan atau sirip. Luka berwarna putih kecoklatan kemudian berkembang menjadi borok.
• Infeksi di sekitar mulut, terlihat seperti diselaputi benang (thread-like) sehingga sering disebut penyakit "jamur mulut".
• Di sekeliling luka tertutup oleh pigmen berwarna kuning cerah.
• Apabila menginfeksi insang, kerusakan dimulai dari ujung filamen insang dan merambat ke bagian pangkal, akhirnya filamen membusuk dan rontok (gill rot).

Diagnosa :
• Pengamanatan preparat tetes gantung secara mikroskopis (400x) untuk melihat adanya kolom bakteri pada organ target infeksi.
• Isolasi dan identifikasi melalui uji bio-kimia.

Pengendalian :
• Menghindari terjadinya stress (fisik, kimia, biologi)
• Mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekuensi penggantian air baru
• Melalui perendaman dengan beberapa bahan kimia seperti
✓ Garam dapur 0,5% atau kalium permanganat 5 ppm selama 1 hari
✓ Acriflavine 5-10 ppm melalui perendaman selama beberapa hari.
✓ Chloramin B atau T 18-20 ppm melalui perendaman selama 2-3 hari.
✓ Benzalkonium chloride pada dosis 18-20 ppm selama 2-3 hari
✓ Oxolinic acid pada dosis 1 ppm selama 24 jam

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan ikan dan Lingkungan, 2010

Maluku Akan Jadi Lumbung Ikan

Maluku Akan Jadi Lumbung Ikan



JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah menetapkan wilayah Maluku sebagai lumbung ikan nasional. Wilayah di Timur Indonesia ini memiliki potensi perikanan tangkap hingga 1,6 juta ton per tahun.

Demikian diungkapkan Menteri Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) HR Agung Laksono di jakarta, selasa (1/3), usai melakukan rapat koordinasi(rakor). Turut hadir para rakor ini Menteri Perhubungan Freddy Numberi, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, serta Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Helmi Faishal Zaini.

Agung mengatakan, Maluku berpotensi menjadi lumbung nasional karena merupakan salah satu wilayah di indonesia yang menghasilkan ikan terbanyak. Apalagi, selain perikanan budi daya di Maluku juga besar. Wacana penetapan Maluku sebagai lumbung ikan nasional dicetuskan pada acara Sail Banda 2010.

"Namun, sampai sekarang baru digarap sekitar 300.000 ton ikan. ini merupakan tindak lanjut,karena banyak proses yang harus dilakukan untuk mewujudkan wacana itu.Diharapkan dapat dimulai tahun ini setelah adanya kajian menyangkut segala aspek serta pengembangan sarana dan prasarana.

Jadi tidak boleh hanya sebatas wancana,harus ada tindak lanjut sampai akhirnya diputuskan Maluku menjadi lumbung ikan nasional,"katanya.

Sementara itu,Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menambahkan,Kementerian Kelautan dan Perikanan bisa menyuntik dana sebesar Rp 950 miliar untuk pengembangan bidang perikanan di Maluku.Untuk 2011 ini disiapkan anggaran sebesar Rp 140 miliar.

"Tadinya Pemda Maluku meminta dana hingga Rp 16,1 triliun.Namun ini terlalu basar.Bisa kalau direncanakan untuk beberapa tahun kedepan dengan target peningkatan produksi dan menjadikan lumbung ikan di sana,"katanya.

Menurut Fadel,konsep Maluku sebagai lumbung ikan nasional mencakup empat daerah di Maluku,di antaranya Tual,Ambon,dan Seram serta di Sinergikan dengan 12 pelabuhan pendaratan ikan (PPI).Pemerintah pun berencana akan mengundang investor swasta.



Sumber : SUARA KARYA 2 MARET 2011 HAL 6

Selasa, 01 Maret 2011

Usaha Budidaya Lele dan Gurami Saat ini

Usaha Budidaya Lele dan Gurami Saat ini

Ikan lele dan gurami merupakan komoditas ikan air tawar yang memiliki beberapa keunggulan, seperti teknologi pembenihan dan pembesarannya telah dikuasai dan mudah diterapkan, telah berkembang di masyarakat di hampir seluruh wilayah Indonesia, bernilai ekonomis, dapat dilakukan dalam skala rumah tangga sampai industri serta memiliki pasar lokal maupun pasar ekspor yang sangat potensial.

Potensi lahan untuk pengembangan budidaya ikan lele dan gurami berupa lahan darat masih sangat luas, mencapai sebesar 2,07 juta Ha dan baru dimanfaatkan sebesar 361.971 Ha atau 17,47% dari total potensi tersebut.

Perkembangan produksi ikan lele selama 5 tahun terakhir menunjukkan hasil sangat signifikan yaitu sebesar 21,82% per tahun dari 69.386 ton pada Tahun 2005 menjadi 145.099 ton pada Tahun 2009, begitu pula dengan gurami selama 5 tahun terakhir menunjukkan angka pertumbuhan sebesar 18,63% per tahun, yaitu dari 24.052 ton pada Tahun 2005 menjadi 46.452 ton pada Tahun 2009.

Proyeksi produksi ikan lele nasional selama 2010-2014 sebesar 450 % atau rata-rata meningkat sebesar 35% per tahun yakni pada tahun 2010 sebesar 270.600 ton meningkat menjadi 900.000 ton pada tahun 2014. Sementara proyeksi produksi ikan gurame selama 2010-2014 sebesar 127% atau rata-rata meningkat sebesar 5% per tahun yakni sebesar 40.300 ton pada tahun 2010 meningkat menjadi 48.900 ton pada tahun 2014.

Jenis ikan lele yang dibudidayakan dan berkembang di wilayah Indonesia adalah lele dumbo, lele sangkuriang, lele afrika, lele piton dan lele paiton, sedangkan ikan gurami yang dibudidayakan di masyarakat umumnya gurami paris dan gurami swang.

Sentra pengembangan budidaya ikan lele tersebar di hampir seluruh Indonesia, terutama di Propinsi Sumut, Sumbar, Jambi, Lampung, Banten, Jabar, Jateng, DI Yogyakarta, Jatim dan Kalbar. Sedangkan sentra pengembangan budidaya ikan gurami terkonsentrasi di Lampung, Sumsel, Sumbar, Jabar, Jateng, Jatim dan DI Yogyakarta.

Sumber benih ikan lele umumnya berasal dari Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Bekasi, Bogor, Sukabumi, Subang, Indramayu dan Cirebon), Jawa Timur (Kab.Tulung Agung, Blitar) dan dari kawasan budidaya ikan air tawar sekitarnya, sedangkan sumber benih ikan gurami terkonsentrasi di Propinsi Jawa Tengah (Kab. Banyumas, Purbalingga dan Banjarnegara) dan di Propinsi Jawa Barat (Kab.Bogor, Tasikmalaya dan Ciamis) serta telah memanfaatkan sumber plasma nutfah ikan gurami di perairan umum.

Induk lele Sangkuriang yang beredar di masyarakat merupakan induk unggul hasil perbaikan genetik dari BBPBAT Sukabumi, dan saat ini sedang dilakukan perekayasaan untuk menghasilkan induk lele sangkuriang generasi kedua. Untuk induk gurami, umumnya berasal dari hasil pembesaran pembudidaya berdasarkan kriteria fisik, dan saat ini sedang dilakukan pemuliaan induk di pusat pengembangan induk (BBPBAT Sukabumi, BPBIAT Muntilan-Jateng, BPPBAT Singaparna-Jabar) dalam tahap menghasilkan calon induk unggul (F0).

Budidaya ikan lele umumnya menerapkan sistem monokultur di kolam tanah, bak semen, dan yang saat ini banyak berkembang adalah kolam terpal dengan padat penebaran antara 100-200 ekor/m² dengan ukuran benih 7-9 cm. Bahkan budidaya ikan lele dapat dilakukan di daerah marginal (seperti di Kab.Gunung Kidul) dan memberikan hasil yang memuaskan, sehingga dimungkinkan dikembangkan secara massal. Saat ini terdapat pula kawasan pembudidayaan lele dengan pola MINAKERA (Mina Kebun Rakyat) dengan pola pengembangan polikultur ikan lele, gurami dan nila.

Budidaya ikan gurami umumnya dilakukan di kolam tanah secara tradisional baik monokultur maupun polikultur dengan ikan nila dengan ratio jumlah gurami dibanding nila sebesar 3 : 1 atau dengan pola mina padi. Saat ini berkembang pula budidaya gurami kolam dalam dengan kedalaman 3-4 meter.

Dalam usaha budidaya ikan gurami terdapat 8 segmen usaha yang telah terbukti memperluas peluang usaha dan memberikan keuntungan bagi pembudidaya. Tetapi dari 8 segmen tersebut terdapat 2 segmen yang tidak banyak dilakukan oleh pembudidaya yaitu segmen untuk ukuran 12 dan 22 cm.

Pemberian pakan tambahan berupa pelet telah memasyarakat baik untuk budidaya lele maupun budidaya gurami. Saat ini terdapat pembudidaya di Kabupaten Banjarnegara yang menghasilkan pakan buatan untuk gurami dengan komponen bahan baku seperti ikan rucah (70%) dan bahan lain yang telah difermentasi seperti : tepung kecambah jagung, ampas tahu, bungkil kelapa, mie (BS), roti (BS), bekatul dan ekstrak bahan alami seperti : kangkung, jahe, kunyit, bawang putih, yang menghasilkan pakan dengan kandungan protein 32%, serat kasar 18% dan air 17%.

Pembuatan pakan berbahan baku lokal berupa limbah hasil pertanian (kulit kacang-kacangan, bonggol jagung) yang difermentasikan dengan penambahan bahan herbal.

Pemberian pakan tambahan berupa dedaunan seperti : daun turi, daun singkong, kleresede/cebreng, daun pepaya, lamtoro pada budidaya lele telah mulai berkembang. Demikian juga pemberian pakan tambahan dedaunan pada budidaya gurami dengan jenis dedaunan bervariasi seperti daun senthe, kangkung maupun azola.

Penerapan CBIB sebagai panduan teknis untuk melakukan budidaya yang baik dan benar dalam kerangka penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan belum terlaksana secara baik. Saat ini baru terdapat 11 pokdakan lele dan 10 POKDAKAN gurami yang telah memperoleh Sertifikat CBIB;

Jaringan pasar telur dan benih gurami telah terbentuk, dengan sentra produsen telur gurami di Banyumas, Banjarnegara, Bogor dan Tasikmalaya dengan wilayah distribusi meliputi : Kab. Blitar, Tulung Agung, Pantai Utara Jawa (Cirebon, Indramayu), Nganjuk, Klaten, Sragen, dan DI Yogyakarta, Kalsel, Kalbar, Lampung dan Jambi. Bahkan, diperoleh informasi adanya ekspor benih gurami dari Sumbar, Riau ke Malaysia;

Jaringan pasar ikan lele konsumsi sejak Tahun 2008 sampai pertengahan Tahun 2010 telah diekspor dari Propinsi Jawa Timur yaitu 523,9 ton pada Tahun 2008, 337,3 ton pada Tahun 2009, dan 462,6 ton pada Tahun 2010 (smp bln Agustus), dengan negara tujuan ekspor Cina,Vietnam, Korea dan Uni Eropa. Sementara jaringan pasar ikan gurami konsumsi banyak terdapat di Jakarta yaitu sebesar 22,5 ton/hari dengan pasar utamanya adalah restoran dan swalayan;

Diversifikasi produk olahan khususnya untuk lele olahan sudah mulai berkembang, terbukti telah banyak industri rumah tangga yang telah menghasilkan produk seperti : abon, nugget, keripik kulit, tulang dan sirip, sale/asap, bakso, dan lain-lain.
sumber : http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id