PEMANFAATAN TAMBAK MARGINAL MENJADI LAHAN GARAM

Sejauh  mata memandang, di beberapa bagian pesisir pantai Kabupaten Banyuwangi  tergeletak begitu saja hamparan tambak  sebagai petakan-petakan dengan  tanggul yang rusak disana-sini dan dasar  yang kering pecah-pecah.  Sunyi, tak ada aktivitas, meski beberapa petakan terisi air. Yang ada  hanya pantulan terik matahari yang memedihkan mata. Tak sedikit pun  menyisakan tanda kebesaran bahwa dari lahan itu, asal kejayaan Indonesia  sebagai penghasil utama udang windu dunia di era 80-an. Tambak – tambak  udang tersebut mulai “tidur” setelah serangan beberapa penyakit yang  menyerang udang windu beberapa Windu yang lalu.  
Banyuwangi  merupakan Kabupaten dengan wilayah terluas di Jawa Timur dengan luas  wilayah 5.782,50 km2 dan berbatasan dengan Kabupaten Jember, Bondowoso,  Situbondo dan Propinsi Bali. Kabupaten yang masuk dalam kawasan Industri  perikanan ini memiliki  panjang pesisir pantai 175,8 km dengan potensi  tambak udang 1361 Hektar . Banyuwangi merupakan salah satu sentra tambak  udang nasional. Namun dalam beberapa dekade ini setelah beberapa tahun  udang windu mati suri, maka tergantikan oleh udang vannamei yang konon  ceritanya lebih resistant terhadap berbagai penyakit daripada udang  windu.  Dengan demikian udang vannamei di harapkan dapat menggantikan  posisi udang windu. Kejayaan udang vannamei mulai meroket pada tahun  2000an. Namun popularitas udang vannamei juga mulai mengalami penurunan.  Berbagai macam hal juga mulai membuat para petambak udang vannamei di  Banyuwangi mulai gulung tikar, mulai dari harga jual udang yang tidak  menentu sampai penyakit yang mulai menyerang udang vannamei sehingga  menyebabkan beberapa tambak di Kabupaten Banyuwangi mulai mangkrak.   Pada awal tahun 2011, berdasarkan data yang ada pada Dinas Perikanan dan  Kelautan Banyuwangi dari jumlah total luas tambak yang mencapai 1361  Hektar, hampir 50 persennya terserang penyaki seperti White Spot, Mio  dan Taura Syndrome Virus.  Penyakit tersebut hampir merata menyerang  tambak dibeberapa kecamatan yang ada di Banyuwangi, dan yang paling  besar menyerang tambak tradisioanal.  

Di  kawasan Banyuwangi bagian utara, mulai dari Desa Bajulmati hingga  Wongsorejo, mulai 2 tahun terakhir ini hampir 60% tambak yang ada tidak  berproduksi.  Sedangkan bagian pesisir timur mulai dari daerah Bulusan  sampai Muncar Banyuwangi sekitar 30% tambak udang baik yang tradisional  maupun intensif tidak berproduksi karena alasan penyakit, cuaca dan  sebagainya.  Tambak-tambak tersebut dibiarkan tergeletak begitu saja  oleh pemiliknya.  Miris memang, lahan yang awalnya dapat menghasilkan  rupiah sampai ratusan juta per petaknya tersebut saat ini terlihat  seperti hamparan dengan  ladang rumput yang mengering.  Sebenarnya  apabila lahan – lahan tambak marginal tersebut di manfaatkan untuk  produksi kelautan dan perikanan lainnya dengan biaya yang lebih minim  akan memberikan hasil yang lebih bermanfaat bagi masyarakat. 
Beberapa  alternative pemanfaatan lahan tambak marginal  dengan biaya dan resiko  yang minim tersebut yaitu digunakan sebagai lahan untuk budidaya ikan  bandeng dan sebagai lahan untuk produksi garam.   Salah satu alternative  yang paling potensial untuk di realisasikan yaitu dengan menjadikan  tambak-tambak marginal tersebut dijadikan lahan garam.  Hasil daripada  produksi garam ini memang tidak sepopuler budidaya udang. Namun resiko  memproduksi garam  di tambak marginal ini lebih minim daripada usaha  budidaya udang. Selain itu siklus produksi pembuatan garam hanya  membutuhkan waktu selama 20 – 30 hari.  Salah satu alasan mengapa tambak  yang mangkrak tersebut dapat dijadikan lahan tambak garam karena   produksi garam nasional tahun ini belum dapat memenuhi kebutuhan garam  untuk konsumsi sebanyak 1,8 juta ton, sedangkan untuk kebutuhan garam  industry sebanyak 2 juta ton.  Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, tahun  ini sebagian kebutuhan garam nasional dipenuhi dengan cara impor dari  Australia dan India yang tentunya membutuhkan biaya produksi lebih mahal  daripada produski dalam negeri.  Dengan demikian harga garam di tangan  konsumen akan lebih mahal. 

Daerah  Banyuwangi bagian utara mulai dari Desa Bajulmati hingga Wongsorejo  dengan kondisi curah hujan yang cukup rendah dan waktu panas setiap  tahunnya berkisar antara 6 – 8 bulan cukup menjanjikan untuk dijadikan  lahan garam bagi tambak – tambak yang marginal tersebut.  Kondisi cuaca  di daerah tersebut juga berkisar antara 30 – 34o C cukup potensial untuk  memproduksi garam yang memang membutuhkan kondisi cuaca yang cukup  panas.  Tambak – tambak marginal yang rata-rata menggunakan semen beton  tersebut hanya memerlukan peralatan berupa pompa untuk memasukkan air  laut ke dalam petakan,  jumlah air yang dimasukkan juga sangat sedikit  dibandingkan pada saat produksi udang.  Dengan lantai dasar berupa beton  ini dapat menghasilkan garam yang sangat bersih yang merupakan acuan  sebagai garam kualitas KW1.  Dalam kondisi normal setiap 1 hektar lahan  tambak garam dapat menghasilkan minimal 35 – 60 ton garam.  Bisa  dibayangkan apabila di Kabupaten Banyuwangi dan sekitarnya terdapat  lebih dari 500 hektar tambak udang yang mangkrak  dapat digunakan untuk  lahan tambak garam tentunya akan menambah kesejahteraan bagi pemiliknya  dan dapat memenuhi kebutuhan garam nasional.  

Memang  garam ini belum ada barang substitusinya (pengganti) dan hanya dapat  diproduksi dengan menggunakan air laut.  Dengan demikian berbagai  alternative untuk meningkatkan produksi garam nasional diantaranya yaitu  teknologi intensifikasi produksi, penambahan modal bagi masyarakat  pegaraman, perluasan lahan produksi baik dengan cara membuka lahan baru  maupun memanfaatkan tambak udang yang mangkrak (marginal).  Salah satu  upaya dan langkah konkret yang perlu dilakukan dalam memanfaatkan tambak  udang yang mangkrak yaitu dengan cara sosialiasi oleh instansi terkait  seperti Balai Diklat Kelautan dan Perikanan setempat, Dinas kelautan dan  Perikanan, penyuluh perikanan, Pemerintah Daerah serta pihak – pihak  yang terkait lainnya.  Langkah selanjutnya adalah penguatan kelembagaan  dan penguatan modal bagi para stake holder dan pelaku pegaraman.  Selain  itu langkah yang tidak kalah penting yaitu jaminan harga dan stabilitas  pasar bagi hasil garam yang akan di produksi.  
Indonesia yang  merupakan Negara dengan wilayah laut terluas di dunia ini tentunya  sangat optimis untuk dapat swasembada garam dengan dukungan berbagai  elemen.
Oleh : Dian Tugu Warsito T, S.St.Pi
    Tim Publikasi BPPP Banyuwangi
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar